Jumat, 19 November 2010

Habib Ali al-Habsyi : Berawal Dari Mimpi, Disitulah Bermuara Percikan Ilmu

Siapa yang tak kenal Albert Einstein, Barrack Obama, Alexander Graham Bell, James Watt, Christopher Colombus, dan Thomas Alfa Edison? SWM rasa kalian semua pasti mengenalnya. Atau kalau pun tidak, minimal pernah mendengarnya. Ya, tak salah lagi, mereka memang tokoh-tokoh yang terkenal akan kreativitasnya, bahkan beberapa di antaranya masuk dalam kategori 100 tokoh paling berpengaruh. Namun bagaimana jika pertanyaannya diganti dengan nama “HabibAli Al-Habsyi Kwitang”? Hmmm... mungkin jarang orang yang mengenalnya.

Ironis memang, namun inilah kenyataannya. Kita orang islam namun kita jarang mengenal tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan islam. Ada pepatah yang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Nah, maka dari itu rasanya ada baiknya jika kita mengenal tokoh yang menyebarkan ilmu di tanah betawi ini.

Habib Ali al-Habsyi adalah putera dari Habib Abdurrahman Alhabsyi dan ibunya adalah Nyai Salmah. Ketika akan melahirkan Habib Ali, Nyai Salmah bermimpi menggali sumur yang mengeluarkan air meluap dan membanjiri sekelilingnya. Habib Abdurrahman yang mendengar mimpi istrinya segera menemui Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, meminta pandangan. “Kamu akan mendapatkan putra yang shaleh dan ilmunya melimpah keberkatannya,” ujar Habib Ahmad ketika itu.

Minggu tanggal 20 Jumadil Awal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 Nyai Salmah melahirkan seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurraahman al-Habsyi.

Habib Ali termasuk tokoh yang berjasa dalam perkembangan islam, khususnya di tanah 'tanjidor'. Terbukti pada 1920 beliau mendirikan taklim. Serta membangun masjid di Kwitang dengan nama Masjid Ar-Riyadh dan di sampingnya, dibangun pula madrasah dengan nama Unwanul Falah.

Menurut sejarawan Betawi, Umar Shahab, penjajah Jepang-- dalam upaya menarik dukungan masyarakat Indonesia-- telah mendekati para alim ulama yang punya karisma besar di tengah masyarakat. Setiap pagi, saat munculnya matahari, rakyat diharuskan membungkuk menghadap matahari. Tenno Heika, kaisar Jepang kala itu dan kaisar-kaisar sebelumnya oleh rakyaktnya dianggap putra dewa matahari.

Ketika itu, para ulama dan tokoh pejuang menolak keharusan ini karena dianggap sebagai perbuatan musyrik. Akhirnya, kebiasaan ini dihentikan. Habib Ali adalah salah seorang yang menolak kebijakan itu dengan menggelar taklim setiap Minggu pagi. Majelis Kwitang inilah yang kemudian memberi vitamin bagi masyarakat lain untuk menggelar taklim di tempat lain.

Namun sayang, di usianya yang ke-102 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Oktober 1968, beliau wafat. TVRI yang kala itu menjadi satu-satunya televisi pun turut mengabarkan berita duka itu kepada khalayak ramai. Kendati demikian tanah Jakarta tak akan pernah kering sebab percikan-percikan ilmunya terus mengalir lewat para penerusnya yang tersebar dimana-mana.

(Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar