Rabu, 24 November 2010

Ibnu Sina : "Bapak Kedokteran Modern" yang Multitalent


Setiap orang pasti pernah terkena penyakit. Entah itu penyakit yang ringan seperti batuk dan pilek maupun penyakit yang parah yang hanya bisa disembuhkan dengan operasi. Nah, yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah pergi kemanakah kita ketika  terserang penyakit?

Tentu dokter jawabannya. Perkembangan kesehatan masa kini sudah begitu maju. Terbukti klinik kesehatan, puskesmas dan rumah sakit -bisa dibilang- sudah tersebar dimana-mana. Kita tinggal mendatangi salah satu tempat tersebut lalu berkonsultasi kepada sang dokter. Selanjutnya dokter akan memberitahukan penyakit apa yang kita alami dan resep obat. Tugas kita? Penuhi aturan dokter dan minum obat sesuai yang dianjurkan. Gampang sekali bukan?

Mudahnya akses kesehatan pada era modern seperti ini, maka tak afdhol rasanya jika kita tidak berterimakasih kepada "Bapak Pengobatan Modern", sang cendikiawan Muslim, siapa lagi kalau bukan Ibnu Sina (980-1037) atau lebih sering disebut Avicenna di dunia barat. Ialah seorang dokter terkemuka yang mengenalkan penyakit saraf kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan) di samping menjadi seorang filsuf dan ilmuwan. Bahkan lebih dari itu, ia juga merupakan seorang penulis yang produktif. Terbukti karyanya yang berjudul "QANUN FI THIB" menjadi rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. George Sarton (kimiawan Belgia pada 1884-1956) saja sampai menyebut Ibnu Sina "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu." 

Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى سينا Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ia lahir pada 980 M/ 370 H di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, (sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 M di Hamadan, Perisa (Iran). Ayahnya adalah seorang sarjana terhormat Ismaili yang berasal Balkh Khorasan. Kala beliau lahir, ayahnya adalah adalah gubernur salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur (sekarang wilayah Afghanistan dan juga Persia).

Intelektualitas Ibnu Sina terlihat pada usia 5 tahun dimana pada saat itu ia telah menghapal Al-Quran dan menjadi seorang ahli puisi Persia. Dan pada usia 16 tahun, selain mempelajari teori kedokteran, ia juga menemukan metode-metode baru dari perawatan. Bahkan pada usianya yang ke-18 ia memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan dan mengemukakan bahwa, "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai." Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.

Oh ya teman, ada yang lupa nih! Ibnu Sina pernah meraih gelar-gelar dan julukan yang prestisius lho... Di antaranya adalah "Medicorum Principal" atau "Raja Diraja Doktor" oleh kaum Latin Skolastik, "Raja Obat", dan dalam dunia Islam, ia dianggap sebagai "Zenith", puncak tertinggi dalam ilmu kedokteran. Nggak hanya itu saja, beliau juga menjadi "Dokter Raja" yaitu dokternya Raja Nuh 11 bin Mansur di Bukhara pada tahun 378 H/ 997 M (saat ia berusia 18 tahun). Ceritanya pada waktu itu penyakit sultan dalam keadaan parah. Namun lantaran tidak ada doktor lain yang bisa mengobati baginda, Ibnu Sina pun turun tangan . Kabar baiknya, keadaan sang raja berangsur-angsur membaik hingga pada akhirnya kesehatannya kembali pulih. Hebat banget kan?

Eits, nggak cuma terkenal di bidang kedokteran aja, beliau juga ahli di bidang geografi, geologi, kimia dan bahkan kosmologi. Widih..! Keren yaa?? Maka tak salah jika Reuben Levy (Profesor Persia, 28 April 1891-6 September 1966) mengemukakan bahwa Ibnu Sina telah menerangkan bahwa benda-benda logam sebenarnya berbeda antara satu dengan yang lain. Setiap logam terdiri dari berbagai jenis. Nah, dari penerangan itulah ia dianggap mengembangkan ilmu kimia yang sebelumnya dirintis oleh Bapak Kimia Muslim, yakni Jabbir Ibnu Hayyan.

Ibnu Sina cukup berjasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan dunia. Terbukti karya-karyanya -bisa dibilang- sudah menjadi rujukan dimana-mana, khususnya dalam bidang kedokteran.

Berikut adalah karya-karya beliau :

1. Bidang logika "Isaguji", "The Isagoge", ilmu logika Isagoge.

2.Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembagian ilmu-ilmu rasional.

3.Bidang metafizika , "Ilahiyyat" (Ilmu ketuhanan)

4.Bidang psikologi , "Kitab an-Nayat" (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.

5. Fiad-Din yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Liber de Mineralibus" yakni tentang pemilikan.

6.Bidang sastra arab "Risalah fi Asab Huduts al-Huruf",risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf.

7.Bidang syair dan prosa "Al-Qasidah al- Aniyyah" syair-syair tentang jiwa manusia.

8.Cerita-cerita roman fiktif , "Risalah ath-Thayr" cerita seekor burung.

9.Bidang politik "Risalah as-Siyasah" (Book on Politics) – Buku tentang politik.

Cukup banyak karya dan hasil pola pikirnya yang dijadikan sebagai rujukan di dunia, khususnya dalam bidang kedokteran. Sampai pada akhirnya  dalam usia 58 tahun (1037 M) beliau pun dipanggil Sang Ilahi, tepatnya kala ia sedang mengajar di sebuah sekolah. Kini "Bapak Kedokteran Muslim" itu telah tiada. Kendati demikian namanya dikenang dalam sejarah serta menambah daftar cendikiawan-cendikiawan Muslim yang berjasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan.  Lantas, mungkinkah kita yang menjadi berikutnya, sebagai AVICENA masa kini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar